UPACARA ADAT CEMBENGAN DI
KEC. TASIKMADU KARANGANYAR
Ternyata, upacara pengantin
tidak hanya berlangsung untuk manusia saja karena ada
juga pasangan lain yang harus disatukan dalam suatu upacara adat. Namanya upacara adat Cembengan, atau tebu temanten,
atau giling tebu yang dilakukan di Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar. Pabrik
gula ini berada sekitar 15 km ke arah timur dari kota Solo. Tradisi seperti ini
biasanya dilakukan oleh semua pabrik gula. Mereka melakukan ritual tertentu
yang dimaksudkan sebagai doa agar proses
penggilingan tebu setelah musim panen berjalan lancar. Dengan jumlah tebu yang
mencapai jutaan kuintal, maka harapan untuk kemudahan pekerjaan dalam proses
membuat gula pun masih dilakukan dengan menyelenggarakan tradisi Cembengan.
Menurut
filosofi, upacara Cembengan yang masih dipertahankan oleh pabrik gula merupakan
satu simbol kemitraan antara tebu yang dipanen oleh PG (Pabrik Gula) Tasikmadu
dengan tebu yang dipanen oleh para petani.
Dan dengan dilaksanakannya tebu temanten ini, pabrik gula dan masyarakat
dapat bekerja sama untuk memberi kontribusi penyediaan gula pasir untuk daerah
sekitar pada khususnya, dan untuk skala nasional pada umumnya. Saat anda
menyaksikan acara Cembengan, anda akan melihat calon mempelai laki-laki yang
dinamai Bagus Guntur Madu berwarna hitam dan juga calon mempelai wanita yang
dinamai dengan Rara Sekarsari berwarna kuning.
Pemberian
nama yang dilakukan pada ritual Cembengan ini dimaksudkan agar proses
penggilingan tebu dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya kendala yang
berarti. Selain itu, mereka berdua pun didandani seperti layaknya pasangan
pengantin yang akan melangsungkan pernikahan.
Menurut ritual yang berkembang
di PG Tasikmadu, prosesi ini mencapai puncak pada
hari Jum’at Wage pada sistem penanggalan Jawa. Hal ini dilakukan dengan
dimulainya penebangan dua batang tebu yang nanti akan dijadikan sebagai tebu
pertama yang akan digiling. Sedangkan pada petang harinya, ritual pun kembali
dilanjutkan dengan meletakan berbagai macam sesaji di lokasi mesin giling.
Isinya dapat berupa telur asin, tumpeng, kinangan, ketupat, gecok bakar, dan
juga jenang. Ada sejarah yang mendahului upacara adat Cembengan ini. Konon,
tradisi ini telah dilakukan oleh pekerja Tionghoa dengan nama Cing Bing di PG Tasikmadu
yang diwarisi oleh Mangkunegaran IV sebagai pendiri pabrik pada tahun 1871.
Karena ini merupakan tradisi yang harus dilakukan secara turun-temurun,
masyarakat pun merasa kesulitan untuk melafalkan kata Cing Bing.
Selanjutnya,
istilah Cembengan pun lebih populer karena dapat diucapkan dengan lebih mudah.
Disaat prosesi Cembengan, pengantin tebu ini harus diarak mengelilingi pabrik
gula sebelum dinikahkan. Disaat pasangan tebu ini diarak, masyarakat pun ikut
berpartisipasi dengan menyediakan berbagai macam sesaji. Misalnya, kembang
telon atau tiga jenis bunga; kepala kerbau; joli yang terbuat dari bambu kertas hias; gagar mayang atau bunga dari pohon
tebu; hasil bumi; tumpeng; dan berbagai macam jenis bubur. Mereka harus berjalan kaki sekitar 2 km dari Balai Desa Suruh menuju ke Pabrik Gula Tasikmadu. Sesaji
yang disiapkan untuk acara Cembengan ini dimaksudkan sebagai lambang kekuatan
sehingga dapat digunakan untuk menolak bala. Jika prosesi arak-arakan sesaji
ini selesai, kepala adat pun kemudian membacakan doa untuk kelancaran dalam
proses penggilingan tebu di PG Tasikmadu. Selanjutnya, sesaji yang telah
didoakan itu diletakan di depan monumen lokomotif yang berada di pintu pabrik.
Hal ini dimaksudkan untuk mengusir kekuatan jahat yang dapat mengganggu prosesi
penggilingan tebu dan juga ritual Cembengan. Setelah selesai, semua sesaji pun
dibawa masuk ke dalam pabrik, terutama di depan mesin penggilingan tebu. Bagi
anda yang tidak pernah menyaksikan acara seperti ini, tentu ini merupakan acara
yang menarik dan unik karena anda akan melihat kemeriahan prosesi pernikahan
dua tebu.
Penggunaan
kepala kerbau pada acara Cembengan sebagai sesaji dimaksudkan untuk memohon
keselamatan dan kelancaran proses penggilingan tebu pertama di pabrik gula
tersebut, serta mendorong semangat dan etos kerja bagi para karyawan. Sesaji
yang diarak akan digotong secara bergantian oleh beberapa orang.
Warga masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik
gula pun percaya kalau sesaji yang sedang mereka gotong ini dapat membawa berkah,
terutama bagi pabrik gula yang akan melakukan prosesi penggilingan tebu untuk
pertama kalinya menjadi gula pasir. Dalam upacara adat Cembengen, kita juga
akan menyaksikan prosesi ‘ijab kabul’ yang dilakukan oleh pasangan tebu
temanten. Setelah itu, keduanya pun dimasukan secara bersama-sama dengan
penggiring ke dalam stasiun penggilingan tebu. Acaranya pun meriah, mirip
dengan resepsi pernikahan. Masyarakat yang datang pun ikut meramaikan upacara
selamatan dengan menyediakan nasi tumpeng, sayur, dan lauk pauk lainnya. Bagi
sebagian orang, upacara adat seperti ini mungkin dianggap biasa. Tetapi, ada
makna filosofis yang masih dapat diambil dari pelaksanaan ritual ini. Yang
pertama tentu saja ini sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas limpahan panen
tebu yang dapat digunakan dan diolah menjadi gula pasir. Oleh karena itu, acara
doa tidak pernah ketinggalan dalam tiap prosesi. Makna yang kedua, ini juga
merupakan bentuk puncak kerja keras yang dilakukan oleh petani dan juga pabrik
gula selama satu tahun menanam tebu. Dan pesta temu temanten ini dianggap
sebagai representasi dari keceriaan yang dirasakan dan ingin dinikmati
bersama-sama. Dan makna ketiga tentu saja harapan panen tebu yang melimpah
sehingga hasilnya dapat digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari. Pesta
rakyat yang murah meriah dalam acara upacara adat Cembengan pun akan terus
berlanjut selama pabrik gula itu beroperasi.
UPACARA
ADAT DALUNGAN DI KEC KEBAKKRAMAT
Upacara Dalungan.
Apa itu Dalungan? Dalungan sejatinya adalah nama daerah dari mana
tradisi ini berasal. Dusun Dalungan di Desa Macanan, Kebakkramat, kawasan di
sisi utara Kabupaten Karanganyar, tradisi bersih desa ini berasal. Kemudian apa
keunikan tradisi bersih desa Dalungan ini? Berbeda dengan tradisi bersih desa
di kawasan lain di Karanganyar, di Dusun Dalungan warga masyarakat secara turun
temurun dan bertahun-tahun menggunakan seni Tayub sebagai media
perantara dalam upacara adat Dalungan. pertunjukan Tayub dalam upacara
adat Dalungan dipercaya sebagai perantara antara manusia dengan Dewi
Kesuburan.
Upacara Dalungan rutin digelar
oleh warga Dusun Dalungan setiap hari Jum’at
Legi di bulan Ruwah
dalam
penanggalan Jawa.
Digelarnya upacara Dalungan dimaksudkan untuk memohon berkah
keselamatan, ketentraman, kesuburan dan keamanan kepada Dewi Kesuburan. Oleh
karena itu, penyelenggaraan upacara adat Dalungan dianggap sangat
perlu dan penyelenggaraannya pun selalu digelar tepat waktu. Prosesi salah satu
potensi dan objek wisata budaya Karanganyar ini diawali dari sore hari sekitar
jam 3. Pada prosesi awal upacara adat Dalungan ini, prosesi digelar di
sebuah punden yang dipercayai warga ditunggui oleh Kyai Panjipuro dan Nyai
Panjipuro serta Kyai Gendhongali. Di punden ini, upacara diawali
dengan pembacaan doa serta pemberian berbagai
sesajian. Setelah prosesi pembacaan doa selesai, penari (ledhek) Tayub
didaulat untuk membawakan tiga hingga lima buah lagu
di kawasan itu. Hal itu dipercaya sebagai sarana penghibur para penunggu
punden. Setelah prosesi Tayuban di
punden selesai, pertunjukan Tayub kemudian berpindah kembali ke wilayah dusun.
Bulan ini, atau bersamaan dengan bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa,
masyarakat aktif menggelar ritual bersih desa. Salah satunya
masyarakat Dusun Dalungan, Desa Macanan, Kecamatan Kebakramat,
Karanganyar. “Selalu ada wayangan dan seni tayub sebagai persembahan terhadap pendahulu
desa yang dikenal dengan Kyai Panjipuro dan Nyai Panjipuro serta Kyai
Gendhongali,” papar salah satu tokoh Desa Macanan Ali Syaifudin. Sesuai
dengan keyakinan warga, tayub dalam ritual bersih desa membawa berkah keselamatan,
ketentraman, kesuburan dan keamanan Dusun Dalungan. Selain tarian tayub
dan wayangan, kelengkapan bersih desa adalah sajen, yaitu segala sesuatu
yang disajikan dalam upacara berupa makanan dan buah-buahan. Makanan
biasanya berupa nasi uduk, lauk pauk, lalapan hingga buah pisang untuk
kondangan atau kenduri. Makanan ini kemudian dibawa untuk didoakan bersama
.Jika menurut pada penerapan waktu pelaksanaan Jum’at Legi bulan Ruwah
maka tradisi
bersih desa Dalungan kembali akan digelar pada
Jum’at Legi.
Upacara
bersih desa ini termasuk upacara religi, diselenggarakan dengan maksud agar
seluruh penduduk di wilayah desa Dalungan selalu mendapatkan berkah dari Allah
SWT dan terhindar dari segala hal-hal yang bersifat tidak baik sehingga
merugikan masyarakat desa, misalnya di bidang kesehatan agar masyarakat
terhindar dari wabah penyakit, untuk pertanian petani bisa berhasil dalam
panennya, sehingga desa Dalungan menjadi aman tentram murah sandang pangan dan
sejahtera. Upacara bersih desa Dalungan sudah dilaksanakan sejak dulu kala
sampai sekarang secara turun temurun, sehingga upacara bersih desa Dalungan
sudah menjadi warisan leluhur yang tetap dipertahankan dan dilestarikan.
Dalam pelaksanaan upacara ritual bersih desa Dalungan selalu ditampilkan Seni Tayub dengan maksud caos sesaji kepada penunggu desa yang diyakini berada di sebuah Pundhen. Penunggu yang berada dipundhen tersebut adalah : Kyai Panjipuro dan Nyai Panjipuro serta Kyai Gendhongali. Masyarakat meyakini ketiga penunggu desa tersebut bertempat pada sebuah batu yang berbentuk Yoni (belum diketahui usianya berapa tahun).
Perunjukan Tayub sebagai sarana upacara ritual adalah Tayub yang dipertunjukkan terkait dengan ritus atau yang menyangkut dengan upacara keagamaan atau kepercayaan masyarakat.
.Proses Upacara Acara bersih desa dilaksanakan pada sore hari dimulai sekitar pukul 15.00 – 17.30. setelah bancaan/kenduri , Ledhek Tayub mulai menari menghibur para roh yang berada di Pundhen selama kurang lebih 3 (tiga) sampai 5 (lima) lagu saja yang pokok. Menjelang maghrib, acara pokok selesai kemudian dilanjutkan dengan kesenian Tayub lagi tapi tempatnya pindah dari komplek Pundhen. Biasanya diperempatan desa atau tampat lain selain di Pundhen. Tradisi Masyarakat Desa Dalungan
Dalam pelaksanaan upacara ritual bersih desa Dalungan selalu ditampilkan Seni Tayub dengan maksud caos sesaji kepada penunggu desa yang diyakini berada di sebuah Pundhen. Penunggu yang berada dipundhen tersebut adalah : Kyai Panjipuro dan Nyai Panjipuro serta Kyai Gendhongali. Masyarakat meyakini ketiga penunggu desa tersebut bertempat pada sebuah batu yang berbentuk Yoni (belum diketahui usianya berapa tahun).
Perunjukan Tayub sebagai sarana upacara ritual adalah Tayub yang dipertunjukkan terkait dengan ritus atau yang menyangkut dengan upacara keagamaan atau kepercayaan masyarakat.
.Proses Upacara Acara bersih desa dilaksanakan pada sore hari dimulai sekitar pukul 15.00 – 17.30. setelah bancaan/kenduri , Ledhek Tayub mulai menari menghibur para roh yang berada di Pundhen selama kurang lebih 3 (tiga) sampai 5 (lima) lagu saja yang pokok. Menjelang maghrib, acara pokok selesai kemudian dilanjutkan dengan kesenian Tayub lagi tapi tempatnya pindah dari komplek Pundhen. Biasanya diperempatan desa atau tampat lain selain di Pundhen. Tradisi Masyarakat Desa Dalungan
Pelaksanaan upacara bersih desa dengan
mementaskan pertunjukan Tayub berkaitan erat dengan mitos yang berlaku dan
masih diyakini oleh masyarakat desa Dalungan Kalurahan Macanan Kecamatan
Kebakkramat. Mitos yang berlaku di desa Dalungan tersebut adalah bahwa penari
Tayub dianggap sebagai perantara antara masyarakat desa dengan ”Dewi Kesuburan
” . Tujuan masyarakat mengadakan upacara bersih desa agar desanya mendapatkan
berkah, ketenangan lahir batin, kesehatan, murah sandang pangan lewat Dewi
Kesuburan. Melalui upacara besih desa Tayub merupakan aktifitas yang sangat
penting dan harus dilaksanakan oleh masyarakat Dalungan. Apabila tidak
dilaksanakan seluruh warga akan terkena akibatnya. Hal-hal negatif selalu
membayangi mereka.Oleh Karena itu bersih desa Tayub harus dilaksanakan. Pandangan
mereka berdasarkan keyakinan bahwa tayub dalam ritual bersih desa membawa
berkah keselamatan, ketentraman, kesuburan dan keamanan desa Dalungan.
Perunjukan Tayub sebagai sarana upacara ritual adalah Tayub yang dipertunjukkan
terkait dengan ritus atau yang menyangkut dengan upacara keagamaan atau
kepercayaan masyarakat Dari latar belakang dapat diketahui bahwa masyarakat
Desa Dalungan sebagian besar masih percaya akan kekuatan dhanyang (roh halus
penunggu) yang berada di desa dan mereka percaya bahwa upacara bersih desa yang
dilakukan akan menjadikan desa Dalungan selamat dari bencana. Kelengkapan
Bersih Desa Dalungan.
Upacara bersih desa Tayub di Desa Dalungan, selain dalam penyelenggaraannya harus mementaskan Tayub, juga dilengkapi dengan sajen atau sesaji. Kesenian Tayub dan kepercayaan dapat dipadukan menjadi satu sistem upacara sebagai sarana komunikasi untuk memenuhi kebutuhan spiritual maupun material.Selain Tayub kelengkapan bersih desa adalah sajen, yaitu segala sesuatu yang disajikan dalam upacara berupa makanan dan buah-buahan. Makanan biasanya berupa nasi uduk, lauk pauk (sambel goreng, bakmi, tahu, tempe, krupuk, rempeyek, lalapan, buah pisang dll), ingkung panggang yang semuanya merupakan seperangkat makanan untuk kenduri.Sajen tersebut dibawa ke Pundhen untuk kemudian di adakan do’a bersama.
Upacara bersih desa Tayub di Desa Dalungan, selain dalam penyelenggaraannya harus mementaskan Tayub, juga dilengkapi dengan sajen atau sesaji. Kesenian Tayub dan kepercayaan dapat dipadukan menjadi satu sistem upacara sebagai sarana komunikasi untuk memenuhi kebutuhan spiritual maupun material.Selain Tayub kelengkapan bersih desa adalah sajen, yaitu segala sesuatu yang disajikan dalam upacara berupa makanan dan buah-buahan. Makanan biasanya berupa nasi uduk, lauk pauk (sambel goreng, bakmi, tahu, tempe, krupuk, rempeyek, lalapan, buah pisang dll), ingkung panggang yang semuanya merupakan seperangkat makanan untuk kenduri.Sajen tersebut dibawa ke Pundhen untuk kemudian di adakan do’a bersama.
Tayub Dalam Ritual Bersih Desa Sebagai
Simbol kesuburan Pertunjuka Tayub pada upacara bersih desa di Dalungan sangat
diharapkan kehadirannya, bahkan sudah menjadi komitmen bagi maasyarakat
Dalungan, warga tidak bisa menerima kehadiran tari lain kecuali tari Tayub.
Masyarakat mempunyai kepercayaan bahwa penari Tayub telah berhasil membawa
masyarakat Dalungan meningkat lebih baik lagi taraf kehidupannya.
Tayub sebagai lambang kesuburan tanaman, oleh para petani desa Dalungan, Tayub dipersembahkan kepada dhnyang setempat yang menempati tempat-tempat tertentu. Tempat tersebut sanngat dihormati, terbukti selalu dibersihkan secara rutin, khususnya setahun sekali setiap diadakan ritual desa dengan perlengkapan sajen.
Tayub sebagai lambang kesuburan tanaman, oleh para petani desa Dalungan, Tayub dipersembahkan kepada dhnyang setempat yang menempati tempat-tempat tertentu. Tempat tersebut sanngat dihormati, terbukti selalu dibersihkan secara rutin, khususnya setahun sekali setiap diadakan ritual desa dengan perlengkapan sajen.
UPACARA ADAT DUKUTAN
Ada sebuah tradisi yang unik dari
desa ini, mereka menyebutnya Ritual Dukutan (bersih desa). Prosesi ritual ini
telah dilakukan secara turun temurun sejak puluhan tahun silam di areal situs
candi menggung, setiap tujuh bulan wuku dukut. Dukutan diselenggarakan untuk
memperingati wiyosan Eyang Menggung dan Eyang Roso Putih ditandai dengan
penjamasan atau penyucian pakaian kerajaan lengkap milik mereka. Berdasarkan
sejarah, pakaian itersebut adalah paringan Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII.
Menurut
masyarakat setempat tradisi ini merupakan salah satu dari ungkapan syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala kenikmatan, kesehatan,
keselamatan, dan ketenteraman, serta bertujuan untuk mensucikan diri dari
pengaruh nafsu duniawi yang negatif agar diri manusia kembali menjadi suci,
berangkat dari legenda cinta dua orang sakti yaitu Norotomo dan Nyai Roso Putih
yang terlibat perseteruan di desa tersebut jaman dulu. Namun setelah
perkelahian demi perkelahian mereka lakukan, akhirnya mereka justru saling
jatuh cinta dan akhirnya menikah. Lantas eduanya diangkat sebagai pepunden
(pemimpin Desa Nglurah kala itu.
Pengadaan upacara
tradisi Dhukutan dilatarbelakangi adanya cerita rakyat tentang Narotama
(pengikut Airlangga) yang berjuluk Kyai Menggung. Upacara itu dilaksanakan
setiap Selasa Kliwon pada wuku Dhukut yang merupakan hari pernikahan Kyai
Menggung dengan Nyi Rasa Putih. Dahulu upacara dilakukan secara sederhana,
namun tahun-tahun berikutnya dilakukan dengan semakin meriah. Selain itu, dalam
sesaji juga semakin beraneka ragam.Kedua, prosesi upacara diawali dengan
penyiapan rokhani, jasmani, dan bahan sesaji. Kemudian pengumpulan dua encek
'nampan dari anyaman bambu' sesaji yang bahan utamanya dari jagung ke rumah
kaling atau modin untuk diberi doa dan ditinggalkan di rumah Bapak Modin hingga
pagi hari sehingga semalaman diadakan acara melekan 'begadang'. Pagi harinya,
yaitu Selasa Kliwon, warga dari dua desa, yaitu Nglurah Lor dan Nglurah Kidul
mengarak sesaji masing-masing menuju kawasan Candi Menggung (Pundhen) melalui
pintu gerbang yang berbeda. Sesaji tersebut dibawa oleh seorang laki-laki
dewasa yang dianggap menjadi 'jago' dari desa masing-masing. Setelah diberi
doa, sesaji dijadikan satu dalam pincuk yang kemudian dibawa mengelilingi candi
sebanyak tiga kali. Pada putaran keempat sisa sesaji serta pincuk-nya digunakan
sebagai sarana tawuran antara kedua jago. Tawuran tersebut merupakan puncak
.acara dalam upacara tradisi Dhukutan dan hal itu menyimbolkan sebagai
pertarungan yang pernah terjadi antara Kyai Menggung dan Nyi Rasa Putih. Acara
terakhir adalah diadakannya hiburan berupa wayang kulit semalam suntuk. Ketiga,
bagi masyarakat setempat termasuk generasi muda, upacara Dhukutan dikategorikan
sebagai peristiwa penting selain Idul Fitri yang tidak boleh dilewatkan semua
warga, bahkan yang merantau di luar daerah. Upacara itu diangap sebagai
ungkapan rasa syukur dan permohonan keselamatan dan berkah. Kaum muda bertekad
melestarikannya. Agar tidak terlalu menyimpang dari ajaran Islam, doa-doa
menggunakan ayat-ayat suci Alquran, dan penyebutan Kyai untuk Mbah Menggung
yang dianggap sebagai dhanyang bagi warga Desa Nglurah.
Kejadian
diatas lantas ditiru dalam adegan pada prosesi ritual. Dengan dandanan ala Warok
Ponorogo, warga masyarakat Nglurah lor dan Nglurah kidul saling berhadapan di
tempat yang ditentukan. Bermula dari ejekan dan hinaan yang saling dilontarkan
oleh kedua pasukan hingga keduanya tidak bisa lagi mengendalikan emosi. Di
tangan mereka telah siap keranjang sesaji berisi makanan yang sedianya akan
dibagikan kepada warga. Tapi, entah siapa yang memulai provokasi, keranjang
berisi makanan itu justru dijadikan senjata untuk menciptakan kerusuhan.
Kekisruhan pun tak bisa dihindari.
Warga
dua dusun yang berbeda itu akhirnya terlibat tawuran. Mereka saling melemparkan
sesaji berikut perkakasnya, seperti bambu, kayu atau apapun yang saat itu
berada di dekat mereka kepada musuh yang ada dihadapannya. Tak pelak, tubuh,
kepala dan wajah mereka pun bengkak dan lebam akibat terkena lemparan. Ritual
ini dilakukan sebagai rangkaian upacara ritual bersih desa yang disebut Tawur
Dukutan. Selesai upacara adat, warga mengumpulkan sesaji berupa makanan yang
terbuat dari jagung dan dibagi-bagikan kesemua warga. Sesaji itu
Upacara Adat Mahesa Lawung (Sesaji Nagari)
Latar Belakang
Sesaji Rajawedha atau Wilujengan
Nagari Mahesa Lawung (Penanaman Kepala Kerbau sebagai sesaji) Di Hutan
Krendhawahana Gondangrejo. Sebenarnya yang dikatakan wilujengan nagari
Rajawedha, seperti yang disebutkan dalam Surat Pustaka Raja dan Wita Radyo dari
Paheman Sasana Pustaka Karaton Surakarta Hadiningrat, telah dilaksanakan sejak
jaman dahulu kala dengan nama Sesaji Rajawedha.
Para Raja-raja di Jawa semua
melaksanakan Wilujengan Rajawedha, artinya wilujengan sodakohan dari Para Raja
tiap awal tahun, untuk melaksanakan upacara do’a keselamatan Negara beserta
isinya. Kraton Surakarta Hadiningrat sampai sekarang secara turun temurun
selalu menggelar upacara adat Wilujengan Nagari Sesaji Maheasa Lawung atau
Sesaji Rajawedha. Sesaji Mahesa Lawung atau yang dikenal dengan Sesaji
Rajawedha ini merupakan upacara adat kraton yang difungsikan untuk ritual
keselamatan negara. Digelar setiap tahun sekali di hutan Krendhowahono dengan
acara inti berupa menanam kepala kerbau liar (Jawa : Mahesa Lawung). Acara ini
sempat berhenti selama ± 8 (delapan) tahun pada masa Kerajaan Demak.
Selain kepala kerbau liar, perangkat sesaji lainnya yang turut dibawa adalah bebungaan dan dupa.
Asal Mula Nama Mahesa Lawung
Selain kepala kerbau liar, perangkat sesaji lainnya yang turut dibawa adalah bebungaan dan dupa.
Asal Mula Nama Mahesa Lawung
Diceritakan pada jaman Prabu
Sitawaka di Negara Gilingaya, rakyat di wilayahnya terserang penyakit dan
segala macam bencana yang mengakibatkan tidak tentramnya kehidupan di Negara /
Wilayah Gilingaya. Bersamaan dengan tahun 387 yang ditandai ‘Candra Sengkala
Pujaning Brahmana Guna”, Prabu Sitawaka memanggil Brahmana Radhi dari Ngandhong
Dhadhapan untuk membuat sesaji dengan tumbal untuk Negara Gilingaya. Dalam
melaksanakan titah raja, di setiap dusun melaksanakan wilujengan bersih desa
yang disebut Gramawedha. Upacara bersih desa ini dilaksanakan dalam waktu yang
bersamaan dengan upacara sesaji Rajawedha. Ternyata tidak lama setelah diadakan
upacara tadi semua penyakit dan berbagai bencana yang datang silih berganti
akhirnya menghilang. Wilayah Gilingaya kembali tentram damai, makmur gemah
ripah loh jinawi sampai sekarang
Diceritakan pula pada jamannya Sri Prabu Aji Pamasa dari Negara Pengging, kedatangan musuh yang teramat sangat kejam dari Ima Imantaka. Negara menjadi senyap , dan masyarakat menjadi kebingungan serta ketakutan yang amat sangat. Kemudian Sri Prabu Aji Pamasa minta bantuan raja raksasa yang bernama Raja Karawu untuk mengembalikan ketentraman negara. Karena Raja Karawu merasa tidak bisa mengusir musuh maka ia menyarankan kepada Prabu Aji Pamasa agar meminta bantuan kepada bala tentara di hutan Krendawahan (sekarang = Krendhawahana), kerajaannya Bathari Kalayuwati yaitu anaknya Bathari Dhurga. Tidak lama kemudian Raja Karawu pergi ke Hutan Krendhawahana dan menceritakan maksud kedatangannya sebagai utusan Sri Prabu Aji Pamasa. Bathari Kalayuwati setelah mendengar cerita Raja Karawu lalu berkata bahwa, kejadian yang menimpa Negara Pengging karena Sri Prabu Aji Pamasa dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak pernah melakukan sesaji untuk keselamatan negara. Nah untuk mencapai ketentraman negara, aman, tata tentrem kerta raharja, Sri Prabu Aji Pamasa harus mengadakan sesaji tumbal kepala seekor kerbau (Jawa = mahesa) liar di Hutan Krendhowahono. Sri Prabu Aji Pamasa setelah mendengar uraian dari Bathari Kalayuwati lewat Raja Karawu, lalu memerintahkan kepada Patih Tambakbaya untuk mencari kerbau liar beserta ubarampe yang lain dan kemudian melaksanakan sesaji di Hutan Krendhowahono. Setelah menerima sesaji tadi lalu Bathari Kalayuwati mengerahkan semua prajurit untuk menghalau musuh dari Ima Imantaka, dan terbukti semua yang diucapkan oleh Bathari Kalayuwati, negara Pengging menjadi aman tanteram dan terbebas dari segala mara bahaya dan penyakit yang menyerang warga/rakyat. Untuk seterusnya Hutan Krendhowahono digunakan sebagai tempat melaksanakan sesaji menanam kepala seekor kerbau lawu (liar), yang lama-lama pengucapannya menjadi Lawung, akhirnya pelaksanaan sesaji tersebut dinamakan Sesaji Mahesa Lawung
Situs Watu Gilang
Di tapal masuk hutan Krendhowahono,
Desa Krendhowahono Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar tempat pundhen
untuk menggelar ritual Wilujengan Nagari Mahesa Lawung (menanam sesaji kepala
kerbau) ± 400 meter disebelah barat pundhen terdapat sebuah batu yang
dikhususkan keberadaannya. Sepintas batu itu tak jauh berbeda dengan batu-batu
yang lain, namun batu ini keberadaanya memang terasa dikhususkan. Batu tersebut
dinamakan Watu Gilang karena memang bentuk batu yang cenderung datar.
Meski batu tersebut telah
diperlakukan khusus ternyata memang belum dikenal dikalangan masyarakat luas.
Hal ini karena ritual tahunan (Wilujengan Nagari Mahesa Lawung) yang cukup
dikenal luas oleh masyarakat yang menyamarkan keberadaan Watu Gilang. Lalu apa
yang menarik dari keberadaan sebuah batu itu ?
Banyak yang tidak menyangka jika
batu yang diperlakukan khusus itu ternyata menyimpan sejarah perjuangan
Pangeran Diponegoro. Bahkan tidak mustahil apabila Watu Gilang tersebut bisa
menguak tentang pertanyaan Bagaimana sikap Keraton Surakarta terhadap
perjuangan Pangeran Diponegoro. Batu itu diyakini sebagai tempat duduk pada
pertemuan Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono IV dengan
Pangeran Diponegoro yang ketika itu sekitar awal abad XVIII, telah memulai
berjuang melawan Kompeni Belanda. Sedang Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng
Susuhunan (SISKS) Paku Buwono IV adalah penguasa Keraton Surakarta Hadiningrat
(1788 – 1820).
diyakini akan
mendatangkan berkah bagi mereka yang membawa dan menikmatinya.
Upacara Adat
Suran Jomboleka.
Sejarah Arya Kusuma Jomboleka
Di Dusun Talpitu Desa Ngemplak Kecamatan Karangpandan
Kabupaten Karanganyar terdapat makam Arya Kusuma Jomboleko yang masih keturunan
Prabu Brawijaya V raja Majapahit terakhir. Belum banyak yang mengetahui akan
keberadaan makam tersebut. Bahkan sejarah adanya makam tersebut juga belum
banyak diketahui oleh masyarakat di Kabupaten Karanganyar. Dari sejarah yang
ada, di dekat Pulau Madura ada pulau kecil bernama Pulau Sapudi. Penguasa pulau
tersebut mempunyai seorang puteri yang bernama Rara Supadi (nama Rara Supadi
ini sampai sekarang juga belum diketahui nama aslinya, hanya kemungkinan nama
Rara Supadi diambil dari nama pulau asalnya). Rara Supadi diperisteri Prabu
Brawijaya V, mempunyai keturunan yang diberi nama Arya Kusuma / Arya Leka /
Arya Pekik. Arya Leka berparas sangat tampan seperti ayahnya, setelah dewasa
beliau menjadi menantu Adipati Jaran Panole I di Madura. Setelah mertuanya
meninggal di Madura, Arya Leka kemudian dinobatkan menjadi Bupati di Sumenep
Madura. Beliau menjadi pemimpin perang dan bergelar seperti mertuanya dengan
sesebutan JARAN PANOLE SUMENEP. Arya Leka ditetapkan menjadi pemimpin prajurit
kapal milik Prabu Brawiaya.
Akhir peperangan antara Demak Bintara dengan Majapahit
karena terdesaknya Pengaruh agama Islam di Jawa, Jaran Panole II (Arya Leka)
meninggalkan kerajaan Majapahit pergi sampai di kaki Gunung Lawu sebelah barat
di bukit/puntuk kecil kemudian bernama Arya Jabal Leka. Orang Jawa menyebut
Arya Jambal Leka. Jabal artinya gunung atau bukit. Jabaleka artinya Gunung
Leka, yang mana Arya Leka tinggal di tempat tersebut sampai meninggal dan
dimakamkan di Jabaleka. Jaman dahulu ada yang menyebut Redi Dumilah, tetapi
bukan Redi Dumilah di Puncak Gunung Lawu. Jabaleka atau Redi Dumilah dulu
diberi tanaman Pohon Tal (Siwalan) berjumlah tujuh. Dari kejadian tersebut
sampai sekarang tempat itu bernama JABALEKA atau DUSUN TALPITU. Di Makam
Jomboleka selain Arya Kusuma yang berada di tempat tersebut Istrinya yaitu
Retno Kuning dan kerabatnya. Beliau cikal bakal dusun tersebut dan oleh
masyarakat setempat masih dikeramatkan keberadaanya, pada hari-hari tertentu
yaitu malam Jum’at Kliwon dan Selasa Kliwon banyak Peziarah dari luar daerah
yang datang untuk tirakat, menyepi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Keadaan Punden / makam sampai sekarang di kelilingi pohon dan tumbuhan yang langka misalnya : pohon aren, keningar, sono keling, mahoni, kemuning dan lain-lain. Awal mula makam tersebut dibangun sekitar tahun 1986 oleh Ibu Nur dari Jawa Timur, dari tahun ke tahun oleh Peziarah membuat bangunan gapura masuk lokasi halaman makam dan sekitar tahun 2005 sebelah timur, di pugar lagi oleh Ibu Dewi dari Jakarta dengan bentuk bangunan Joglo. Pada tahun 2007 mendapatkan APBD dari Kabupaten Karanganyar untuk membuat talud pengamanan tanah dan bangunan.
Keadaan Punden / makam sampai sekarang di kelilingi pohon dan tumbuhan yang langka misalnya : pohon aren, keningar, sono keling, mahoni, kemuning dan lain-lain. Awal mula makam tersebut dibangun sekitar tahun 1986 oleh Ibu Nur dari Jawa Timur, dari tahun ke tahun oleh Peziarah membuat bangunan gapura masuk lokasi halaman makam dan sekitar tahun 2005 sebelah timur, di pugar lagi oleh Ibu Dewi dari Jakarta dengan bentuk bangunan Joglo. Pada tahun 2007 mendapatkan APBD dari Kabupaten Karanganyar untuk membuat talud pengamanan tanah dan bangunan.
Sejarah terjadinya Upacara Adat Suran Jomboleko
Setiap pergantian tahun Jawa tepatnya awal bulan Suro
yaitu tanggal 1 s/d 3 Suro masyarakat mengadakan kegitana ritual di Punden
Jombaleko. Ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dilaksanakan 3 hari
berturut-turut oleh masyarakat Dukuh Ngledok, Ngablak dan Talpitu. Pada malam
harinya juga diadakan tirakatan sebulan penuh yang dilakukan oleh masyarakat
setempat dan para Peziarah dari luar daerah.
Jalanya Upacara Adat Suran :
1. Sore hari menjelang waktu Magrib pelakasanaan ritual,
tokoh masayarakat dan Juru Kunci telah menyanggarkan kendi berjumlah tujuh (7)
yang berisi air sumur setempat untuk di semayamkan di makam Arya Kusuma.
2. Pagi harinya warga telah kambing di area punden, hewan
yang di sembelih tidak boleh cacat dan harus Kambing kendit yaitu berbulu hitam
dan begaris putih di badannya. Masakan yang untuk sesaji tidak boleh di cicipi
dan yang masak tidak boleh dalam keadaan datang bulan (menstruasi). Siang hari sekitar jam 10.00 WIB, masyarakat
berbondong-bondong datang di tempat dengan membawa sesaji komplit yang
diletakakan dalam encek ( Jawa : anyaman yang dibuat dari bambu )
3. Ritual Tumuruning Toya Wening, yaitu air kendi yang
berjumlah tujuh yang mempunyai makna sendiri-sendiri untuk dibagikan kepada
masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa air tersebut membawa berkah dan
dijauhkan dari bencana.
4. Kemudian dilakukan Doa bersama dipimpin oleh Kepala Dusun
setempat.
Setelah selesai do’a, makanan kenduri dibagi-bagi termasuk kepada peziarah yang datang untuk dimakan bersama-sama.
Setelah selesai do’a, makanan kenduri dibagi-bagi termasuk kepada peziarah yang datang untuk dimakan bersama-sama.
Sebagai penutup, biasanya dilanjutkan dengan sebaran Udhik-udhik yang
diperebutkan oleh masyarakat yang datang, makna yang tersirat semoga
masyarakata diberikan rejeki yang melimpah.
Pelaksanaan Upacara adat biasanya di dukung oleh para budayawan, Pametri Budaya, HARPI Melati Karangpandan, Pemerintah setempat dan dilakukan Kirab Prajurit Majapahit atau Arya Kuisuman dengan Pakaian Ngliga dan Senjata Bambu Runcing.
Pelaksanaan Upacara adat biasanya di dukung oleh para budayawan, Pametri Budaya, HARPI Melati Karangpandan, Pemerintah setempat dan dilakukan Kirab Prajurit Majapahit atau Arya Kuisuman dengan Pakaian Ngliga dan Senjata Bambu Runcing.
. Menurut sesepuh dusun, tempat tersebut dahulu adalah
tempat untuk persembunyian masyarakat setempat karena kedatangan para penjajah
Belanda yang sampai di wilayah Karangpandan dan Matesih. Masyarakat merasa di
lindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa pada waktu itu, maka oleh penduduk setempat
sampai sekarang punden Jambaleko masih keramat dan dianggap membawa berkah,
sehingga banyak peziarah yang datang baik dari daerah Karanganyar sendiri
maupun dari luar daerah, bahkan dari luar pulau Jawa juga ada yang berziarah
kemakam ini.